Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan yang hendak diwujudkan oleh negara Indonesia, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat. Tujuan tersebut menggambarkan sebuah cita-cita luhur dalam membangun sumber daya manusia yang unggul guna tercapainya kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Namun, realitanya keadilan pendidikan yang sejatinya milik anak negeri Indonesia terhambat oleh berlakunya kebijakan perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH). PTN-BH yang sejatinya bertujuan menciptakan lingkungan perguruan tinggi berkualitas World Class University (WCU) dalam pelaksanaannya terindikasi melakukan penyimpangan regulasi. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah X-A Sumatera Barat, Dr. Hendri Nofrianto, menjelaskan kebijakan PTN-BH yang telah berjalan selama empat hingga lima tahun terakhir di Provinsi Sumbar selama ini tidak berorientasi pada jumlah penerimaan mahasiswa baru, karena targetnya WCU maka PTN berorientasi pada kualitas dan optimalisasi jenjang magister dan doktoral sesuai desain awal kebijakannya. Fenomena faktual yang kita hadapi pada penyelenggaraan PMB tahun akademik 2023/2024 adalah terjadinya tren komersialisasi di perguruan tinggi, melalui penyelenggaraan PMB jalur seleksi mandiri tanpa batas yang minim pengawasan dan pantauan dari pemerintah. Sehingga hal ini berdampak pada menurunnya daya serap mahasiswa pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Menurut Ketua APTISI Wilayah X-A Sumbar apabila dibandingkan antara PTS dan PTN itu sangat jauh perbedaannya, PTS mengelola institusinya memanfaatkan pendanaan mandiri, sedangkan PTN memanfaat bantuan dan dukungan dana dari pemerintah, sehingga tidak ada kesempatan bersaing dengan upaya yang kita inginkan. Persoalan saat ini perlu adanya intervensi dari pemerintah selaku regulator untuk mengontrol PTN yang menyelenggarakan seleksi mandiri tanpa batas, yang berdampak pada berbagai sektor. “Belum lagi permasalahan skema uang kuliah tunggal yang sangat memberatkan mahasiswa, sehingga apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut tanpa ada monitoring dari pemerintah dikhawatirkan akses pendidikan tinggi hanya dapat dinikmati oleh masyarakat kelas atas. Selain itu, apabila kebijakan ini berdampak pada kolapsnya satu-persatu PTS, berapa jumlah dosen dan karyawan yang harus dirumahkan dan mengakibatkan pengangguran besar-besaran disektor pendidikan, “ tutur ia. Kebijakan yang tidak disertai pengawasan ini sangat berdampak pada banyak sektor, tidak hanya sektor pendidikan tetapi juga pada sektor lainnya. Harapannya pemerintah dapat menfasilitasi para pimpinan PTN dan PTS untuk saling berdiskusi dan mengevaluasi penyelenggaraan regulasi PTN-BH ini. sehingga tercipta kenyaman konsep belajar mengajar terutama di Provinsi Sumbar dalam bingkai demokrasi. “Kami berharap perguruan tinggi yang telah PTN-BH ini bersama-sama saling bergandengan tangan dengan PTS menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas dalam upaya pembenahan dan kemajuan pendidikan, selama ini PTS hormat terhadap rambu-rambu yang diberikan oleh kemendikbud ristedikti. Harapannya tujuan mencerdaskan anak bangsa dapat tercapai sehingga pendidikan di Indonesia semakin maju dan berdaya saing, “ tutup Ketua APTISI Wilayah X-A Sumbar. Created By Widia/Humas ...